Oleh : Dr. Soetanto Soepiadhy SH, MH
Dewasa ini, konflik elite terjadi dalam berbagai tingkat, baik secara vertical, horizontal, maupun keduanya, atau antara elite pemerintahan dan elite di masyarakat, maupun antar elit politik itu sendiri. Terlebih parah apabila konflik tersebut terjadi secara serempak serentak vertikal dan horizontal. Konflik elite ini terkadang penyelesaiannya justru berlarut, hal ini akan mengarahkan pada instabilitas politik, rentan terhadap kerusuhan, dan akhirnya membawa negara pada kondisi krisis berkepanjangan.
Sesungguhnya Pancasila adalah solusi dari konflik tersebut, sayangnya, saat ini Pancasila hanya menjadi nilai filosofis, belum diimplementasikan secara sungguh-sungguh dalam kehidupan sehari-hari. Lebih lanjut, amandemen UUD 1945 dinilai hanya sebatas memenuhi tuntutan reformasi. Amandemen UUD 1945 dinilai telah menyimpang ketatanegaraan, yang menyebabkan kesenjangan sosial-ekonomi di masyarakat, sehingga terjadi penyimpangan terhadap cita-cita bangsa Indonesia, yang tertuang pada pembukaan UUD 1945.
UUD yang baik selalu menentukan sendiri prosedur perubahan atas dirinya sendiri, sedang perubahan yang terjadi di luar itu tidak dapat dibenarkan secara hokum. Inilah prinsip negara demokrasi yang berdasarkan atas hukum (constitutional democracy) yang dicita-citakan oleh para pendiri Republik Indonesia. Di luar itu bukan merupakan rechtsstaat melainkan machtsstaat yang hanya menjadikan pertimbangan “revolusi politik” sebagai landasan pembenar dan bersifat post factum terhadap perubahan dan pemberlakuan konstitusi.
Tercatat telah 4 kali UUD 1945 diamandemen. Namun dalam pelaksanaannya menimbulkan kontroversi dalam masyarakat disebabkan hasil perubahan tersebut jauh dari ideal dan terkesan parsialistik, sehingga sistem yang dibagun oleh UUD 1945 sebagai suatu konstitusi menjadi kabur. Substansi atau materi muatannya pun banyak tumpeng tindih antara satu pasal dengan lainnya, sehingga tujuan penyempurnaan UUD 1945 melalui amandemen justru yang terjadi adalah sebaliknya. Terdapat beberapa alas an mengapa amandemen tersebut dipandang tidak sempurna, yaitu:
1.Secara procedural
Pertama, Amandemen dilakukan oleh Lembaga yang secara yuridis konstitusional berwenang, namun mereka bukan ahli di bidang konstitusi. Seharusnya diserahkan pada Komisi Konstitusi yang ditunjuk MPR melalui Tap MPR dengan anggota non paratisan, tetapi ahli di bidangnya masing-masing, dengan hasil diserahkan pada MPR dengan catatan MPR dapat menerima maupun menolak.
Kedua, perubahan yang dilakukan sarat dengan permainan politik dan kepentingan politik sesaat, sehingga tidak mencerminkan aspirasi masyarakat. Ketiga, perubahannya dikerjakan secara tergesa-gesa dan kurang serius, serta kurang melibarkan partisipasi masyarakat di dalamnya, sehingga terkesan eliteis.
2. Secara Substansial
Hasil perubahan UUD 1945 tidak didasari oleh kajian akademis yang komprehensif dan sejalan dengan pemikiran the Founding Fathers and Mothers bangsa ini, sehingga dalam pelaksanaannya telah menimbulkan berbagai persoalan mendasar, diantaranya:
Pertama, ketidakjelasan pelaksanaan kedaulatan rakyat. Dimana MPR dalam amandemen berada sejajar dengan presiden dan DPR.
Kedua, sistem pemerintahan presidensiil yang dimaksudkan dalam perubahaan UUD 1945 belum sesuai dengan konfigurasi politik Indonesia, sehingga muncul ketidakstabilan penyelenggaran pemerintahan, baik pada tataran kekuasaan eksekutif maupun legislative. Ketiga, ketidakjelasan sistem perwakilan yang digunakan, dimana kelembagaan DPD yang tidak fungsional, serta ketidakserasian hubungan pemerintah pusat dengan daerah.
3. Kajian Konstitusi
Politik hukum makro
Politik hukum bersifat makro dirumuskan dalam suatu norma dasar, yang dalam susunan peraturan perundang-undangan ditempatkan sebagai peraturan yang tertinggi. Agar UUD 1945 nantinya akan menjadi living constitution maka konstitusi harus selalu hidup dalam masyarakat, yakni:
- Makna yang terkandung dalam pembukaan UUD 1945 dengan pengejawantahan yang seharusnya (das sollen) dalam konstitusi.
- Pelaksanaan kedaulatan rakyat yang sejalan dengan pemikiran The Founding Fathers and Mothers.
- Sistem pemerintahan yang sesuai dengan konfigurasi politik Indonesia
- Sistem perwakilan yang mampu mencerminkan aspirasi rakyat.
- Sistem peradilan di Indonesia
Politik Hukum Messo
Tujuan makro dilaksanakan dalam politik hukum messo melalui berbagai peraturan perundang-undangan. Dasar dari amandemen UUD 1945 adalah pasal 5 Tap MPR No I/MPR/2003. Sejalan dengan perubahan itu, maka perubahan UUD 1945 tersebut, secara procedural dan secara substansial berakibat pada ketidaksesuaian dengan perkembangan ketatanegaraan dewasa ini. Secara konstitusional, diperlukan pencabutan pasal 5 Tap MPR No. I/MPR/2003 dan dengan dicabutnya ketentuan tersebut, secara mutatis mutandis diberlakukan secara sah UUD 1945 tanggal 18 Agustus 1945.
Politik Hukum Mikro
Politik hukum mikro dilaksanakan melalui peraturan yang lebih rendah lagi tingkatnya. Dengan demikian, tercipta perundang undangan yang taat asas, yaitu yang dibenarkan pada tataran hukum makro yaitu UUD 1945 18 Agustus 1945.
Kehendak Rakyat
Dalam konteks ini, reformasi konstitusi (constitutional reform) secara konstitusional melalui inter-legal system maupun ekstrakonstitusional melalui beyond-legal system perlu dikemukakan. Perubahan UUD oleh Jellinek dibedakan dalam dua hal, yaitu verfassungsanderung dan versfassungswandlung.
Verfassungsanderung yakni perubahan UUD dilakukan dengan sengaja sesuai dengan apa yang ditentukan oleh UUD yang bersangkutan.
Sementara verfassungswandlung yaitu perubahan UUD dengan cara yang tidak disebutkan dalam UUD tersebut, tetapi melalui cara istimewa seperti revolusi, convention, dan sebagainya. Hal inilah yang disebut dengan perubahan konstitusi secara ekstrakonstitusional. Jika perubahan dilakukan secara verfassungsanderung langkah yang ditempuh yaitu:
- Dimana hanya beberapa bagian naskah konstitusi yang diganti (perubahan menyangkut hal-hal tertentu).
- Dimana penambahan naskah yang dilekatkan pada naskah asli. Adendum tidak merubah naskah asli sehingga dianggap tetap berlaku.
- Dimana perubahan yang terjadi bersifat mendasar. Naskah-naskah lama diganti dengan naskah-naskah baru, sehingga pada gilirannya melahirkan sebuah konstitusi baru.
Sedangkan perubahan melalui verfassungswandlung oleh C. F. Strong dikemukakan dalam empat klasifikasi perubahan, yaitu by the ordinary legislature, but under certain restriction; by the people through referendum; by a majority of all units of federal state; dan by special convention. K. C. Wheare menyebut konvensi ketatanegaraan sebagai norma konstitusi non legal atau ekstrakonstitusional. Wheare juga menyebut bahwa konvensi ketatanegaraan terbentuk melalui agreement di antara rakyat. Mereka sepakat melaksanakan sesuatu dengan cara-cara tertentu, dan sekaligus menetapkan ketentuan mengenai cara-cara pelaksanaanya. Ketentuan ini langsung mengikat dan mejadi konvensi ketatanegaraan tanpa dikaitkan dengan waktu tertentu seperti konvensi ketatanegaraan yang tumbuh melalui kebiasaan. Hal yang dikatakan Wheare merujuk pada “Kehendak Rakyat” atau the will of the people. Sejalan dengan hal itu, pandangan populis demokrasi yang dikemukakan oleh Jean Jacques Rousseau -seorang filsuf Prancis- yang menggunakan konsep kontrak sosial. Dalam pandangan ini, negara diberikan kuasa untuk mengontrol rakyat setelah diberi legitimasi oleh rakyat. Karena itu, kehendak rakyat kadang disejajarkan dengan majority rule. Sementara pada sisi liberalis, demokrasi dianggap tidak merepresentasikan apa apa terkait kehendak rakyat. Dimana funsi pemilu hanya terbatas pada control terhadap pemerintah, tidak lebih.
Terhadap gagasan untuk melakukan perubahan dengan ketentuan pasal 37 UUD 1945 tergolong sulit, maka untuk kembali ke UUD 1945 yang asli hanya mungkin dilakukan melalui konvensi ketatanegaraan melalui agreement, sebagaimana yang diungkapan Wheare sebagai Kehendak Rakyat. Itulah Salus Populi Suprema Lex (suara rakyat sebagai hukum yang tertinggi).
Artikel ini dilansir dari buku Rumah Kebangkitan Indonesia/Gerakan Kebangkitan Indonesia (GKI) : “Mengapa Kita harus Kembali Ke UUD 1945 ?”, Penerbit Buku Republika, 2019, hal 11-22.