Telaah Strategis dan Kritis Tentang Konsepsi Indo-Pasifik di Tengah Menajamnya Persaingan Global AS versus Cina: Perspektif Politik Luar Negeri RI Bebas-Aktif.
Dasar Pemikiran
Sejak 2008 lalu, Global Future Institute melakukan beberapa kajian secara intensif mengenai gagasan Indo-Pasifik yang semula diprakarsai oleh Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe pada 2007 lalu. Menariknya, pada 2017 konsepsi Indo-Pasifik tersebut dikembangkan lebih lanjut oleh Presiden Amerika Serikat Donald J. Trump.
Dalam konstelasi global yang ditandai semakin menajamnya persaingan global AS versus Cina di kawasan Asia-Pasifik dewasa ini, maka Global Future Institute berpandangan bahwa konsepsi Indo-Pasifik tersebut perlu ditelaah secara lebih mendalam.
Sebab ketika konsepsi Indo-Pasifik yang semula merupakan prakarsa Jepang-India pada 2007 tersebut dikembangkan oleh Presiden Trump dalam perspektif kepentingan nasional AS untuk membendung pengaruh Cina di Asia-Pasifik, maka konsepsi Indo-Pasifik versi AS tersebut nampaknya perlu ditelaah secara lebih mendalam agar negara-negara di kawasan Asia-Pasifik tidak terjebak dan tersandera oleh persaingan perebutan wilayah pengaruh(sphere of influence) antara AS versus Cina.
Bagaimana gambaran mengenai konsepsi Indo-Pasifik versus AS tersebut? Apa yang salah dari konsepsi Indo-Pasifik versi AS? Pada 1 Juni 2019 lalu, tepatnya dua tahun setelah Presiden Donald Trump mengajukan konsepsi Indo-Pasifik untuk pertama kalinya. Kementerian Pertahanan AS merilis the Indo-Pacific Report.
Sejalan dengan National Security Strategy maupun National Defense Strategy, The Indo-Pacific Report menegaskan kembali adanya persaingan global dewasa ini. Yang mana Republik Rakyat Cina dan Rusia ditegaskan sekali lagi sebagai pesaing AS.
Selain daripada itu, the Indo-Pacific Report setebal 78 halaman tersebut yang sangat bernada penuh permusuhan terhadap Cina dan Rusia.
Selain itu, The Indo-Pacific Report yang dirilis Kementerian Pertahanan AS itu materi yang ada di dalamnya penuh kontradiksi. Pada satu sisi, menegaskan pentingnya free and open Indo-Pacific yang diberlakukan bagi semua negara, namun pada saat yang sama menyingkirkan Cina, Rusia, dan Korea Utara dari skema kerjasama Indo-Pasifik. Dengan mencanangkan Rusia dan Cina sebagai musuh utama dan kekuatan revisionis untuk mengubah statusquo global.
Maka, dengan menekankan Cina dan Rusia sebagai faktor ancaman yang destruktif bagi stabilitas kawassan, tanpa mengemukakan bukti-bukti nyata atas tesisnya tersebut, berarti skema Indo-Pasifik versi AS sebagaimana dirumuskan dalam the Indo-Paficic Report, maka AS dan negara-negara sekutunya, sedang berupaya untuk menyandera negara-negara di kawasan Asia Tenggara, terutama Asia Tenggara, yang mana Indonesia merupakan salah satu negara di antaranya, ke dalam persaingan global AS versus Cina di Asia-Pasifik, dan Asia Tenggara.
Sebagai misal, the Indo-Pacific Report mengecam militerisasi Cina dan kegiatan-kegiatannya di grey area atau wilayah abu-abu di Laut Cina Selatan. Namun sama sekali tidak menyinggung semakin intensifnya pengerahan pasukan militer AS di kawasan Asia-Pasifik. Apalagi berkaitan dengan dikerahkannya 60 persen kapal-kapal perang AS ke perairan Laut Cina Selatan.
Pihak AS hanya berdalih bahwa pengerahan pasukan militernya itu hanya untuk latihan militer bersama dengan negara-negara sekutunya, maupun dengan dalih untuk memperoleh kebebasan berlayar angkatan laut AS melalui Laut Cina Selatan berdasarkan jaminan hak-hak navigasi.
Bukan itu saja. AS juga menerapkan pendekatan yang kontradiktif. Pada satu sisi menekankan pentingnya kesiapsiagaan, kemitraan maupun terciptanya jaringan terorganisir di kawasan Asia-Pasifik, namun pada saat yang sama skema Indo-Pasfik versi AS tersebut diarahkan untuk memperkuat postur angkatan bersenjata maupun keberlangsungan pengaruh AS di kawasan Asia-Pasifik.
Rupanya, yang dimaksudkan dengan preparedness atau kesiapsiagaan oleh AS, adalah memperkuat kehadiran tentara AS di Indo-Pasifik dengan meningkatnya akses, latihan militer bersama, maupun investasi pengembangan persenjataan canggih di kawasan ini.
Pada satu sisi menegaskan pentingnya free and open, peaceful and stable regiona. Kawasan Asia Pasifik yang bebas, terbuka, damai dan stabil.
Namun pada saat yang sama AS menekannya pentingnya penggunaan sarana-sarana militer, dengan melakukan lebih dari 90 latihan militer bersama di kawasan Asia-Pasifik setiap tahunnya.
Dalam konstelasi yang demikian, semakin meningkatnya eskalasi kehadiran militer AS di kawasan Asia-Pasifik, pada perkembangannya akan meningkatkan ketegangan militer antara AS versus Cina di kawasan ini. Seperti terlihat dengan semakin gentingnya situasi di Laut Cina Selatan dalam beberapa tahun belakangan ini.
Adapun partnership atau kemitraan maupun terciptanya jaringan yang terorganisir yang dimaksud AS, adalah upaya AS untuk meningkatkan hubungan kerjasama pertahanan dengan negara-negara sekutunya dengan melibatkan sekutu-sekutunya di kawasan ini melalui organisasi-organisasi berskala regional. Kerjasama dalam skema the Indo-Pacific Report itu, memperluas lingkup hubungan kerjasama dalam kerangka multi-lateral maupun trilateral.
Konsepsi Indo-Pasifik versi AS baik yang diluncurkan oleh Presiden Trump pada 2017 maupun the Indo-Pacific Report 2019, pada hakekatnya didasarkan pada kekhwatiran yang cukup besar di Washington sejak awal abad 21. Pada 2012 Lembaga riset bisnis dan ekonomis McKinsey Global Institute merilis hasil riset dan kajian bahwa pusat kegiatan ekonomi penduduk planet bumi sedang bergerak ke zona Asia, khususnya Cinal, hingga 2025. Menariknya, riset dan kajian McKinsey Global Institute tidak hanya berdasarkan perhitungan PDB, tetapi juga tren 30 industri mikro ekonomi dan kekuatan makro ekonomi pada 20 negara sejak 1990 hingga awql abad 21.
Adapun pergeseran pusat gravitasi ekonomi dunia dari zona Lautan Atlantik ke zona awal abad 21, ditandai dengan fenomena kebangkitan kelompok-kelompok negara BRICS—-Brazil, Rusia, India, Cina, dan Afrika Selatan. Fenomena kebangkitan sosial-ekonomi Asia, disertai merosotnya peran dan pengaruh kekuatan-kekuatan atau negara-negara adikuasa yang mapan selama abad 20.
Singkat cerita. AS dan sekutu-sekutunya di Eropa Barat yang tergabung dalam NATO, termasuk Australia, maupun di Asia seperti Jepang dan Korea Selatan, nampaknya berupaya membendung pengaruh ekonomi maupun militer Cina yang semakin ekspansif di kawasan Asia-Pasifik, termasuk di Asia Tenggara.
Konsepsi Indo-Pasifik Dirancang Untuk Ciptakan Instabiltias Politik dan Keamanan di Asia-Pasifik?
Melalui serangkaian kajian dan analisis perihal konsepsi Indo-Pasifik yang dilakukan Global Future Institute sejak 2018 lalu, nampaknya konsepsi Indo-Pasifik sudah disiapkan secara matang atas arahan London dan Washignton. Jejak-jejaknya dapat dibaca ketika pada 2007 Kapten Angkatan Laut India Gurpreet khurana dari Yayasasn Maritim Nasional yang didanai militer India, telah merumuskan apa yang disebut kepentingan strategis umum India, Jepang, dan AS di Samudra Hindia dan Pasifik. Menarik bukan?
Lebih menarik lagi, pada 2013 gagasan Kapten Laut India Gurpreet Khurana dibahas secara lebih mendalam melalui Dialog Strategis AS-India. Dari sini saja jelas bahwa gagassan dari Gurpreet Khurana itu bukan sekadar wacana akademik, melainkan sebuah landasan penyusunan kebijakan strategis keamanan global yang dimotori Washington dan London.
Hal ini semakin terbukti ketika pada 2013 lalu Menteri Luar Negeri AS John Kerry menggulirkan konsep koridor Ekonomi Indo-Pasifik dengan menekankan prospek prospek pembangunan dan investasi serta untuk perdagangan dan transit antara ekonomi Asia Selatan dan Asia Tenggara.
Jadi jelaslah sudah. Bahwa konsepsi Indo-Pasifik dari awal mula penyusunannya, dimaksudkan untuk membangun koneksistas antara Asia Selatan dan Asia Tenggara. Nampak jelas ini merupakan konsepsi khas Inggris yang ditrapkan sejak abad ke 19. Bahwa untuk menguasai Asia, harus membangun pancangan kaki yang menghubungkan Asia Selatan dan Asia Tenggara. Maka terbentuklah poros Myanmar, Srilanka dan India.
Menariknya lagi, sejak 2007 itu pula, Perdana Menteri Shinzo Abe juga sempat menggulirkan konsepsi Indo-Pasifik ketika berkunjung ke India.Sudah barang tentu momentum tersebut erat kaitannya dengan konsepsi Guspreet Khurana dalam kerangka kebijakan menyatukan kepetingan strategis AS, Jepang, dan India.
Kepentingan Jepang dalam skema Indo-Pasifik ini memang cukup jelas. Yaitu ikut serta bersama-sama AS dan Australia untuk membendung pengaruh Cina di bidang ekonomi dan militer di Asia-Pasifik. Berarti, konsepsi yang digodok Gurpreet Khurana pada 2007 dan yang kemudian digulirkan Presiden Trump pada 2017, sejatinya berada dalam satu tarikan nafas.
Hal ini semakin diperkuat oleh Menteri Luar Negeri Rex Tillerson ketika berkunjung ke Korea Selatan, sempat menggambarkan Samudra Hindia dan Pasifik sebagai “arena strategis tunggal” seraya menggambarkan India dan AS sebagai “pembata” wilayah Indo-Pasifik. Apa maksudnya ini? Bisa dipastikan AS dan sekutu-sekutu blok Baratnya sudah punya skema dan gambaran yang dimaksud dengan rumusan tersebut di atas.
Menyadari skema dan rencana strategis di balik konsepsi Indo-Pasifik tersebut, maka sosialisasi konsepsi Indo-Pasifik yang digulirkan Trump akhir pada 2017 lalu, bukan sekadar manuver ekonomi dan perdagangan belaka, Lebih jauh dari itu, konsepsi tersebut merupakan manuver ekonomi-perdagangan atas dasar skema Indo-Pasifik, yang terintegrasi ke dalam manuver militer AS di Asia-Pasifik, melalui kerangka US PACIFIC COMMAND (US PASCOM).
Buktinya, ketika konsepsi Indo-Pasifik bergulir, seketika itu pula disusul dengan terbentuknya QUAD atau persekutuan empat negara (AS, Australia, Jepang dan India). Sebagai persekutuan pertahanan dan militer. Melalui sebuah kajian dari David Dodwell, bahwa melalui konsepsi Indo-Pasifik ini pula, akan diarahkan untuk meningkatkan koordinasi dan kerjasama militer di antara keempat negara tersebut. Dengan dalih untuk menjadi “penyeimbang kekuatan” terhadap Cina yang dipandang semakin agresif dan ambisius menjalankan program One Belt One Road.
Terlepas fakta bahwa Cina memang semakin agresif dan menunjukkan gejala-gejala ekspansif baik di bidang ekonomi maupun militer di Asia-Pasifik, namun demikian skema Indo-Pasifik yang kemudian ditopang melalui persekutuan empat negara (QUAD) pun, pada perkembangannya tidak kalah mengkhawatirkan bagi negara-negara di kawasan Asia-Pasifik. Tak terkecuali bagi Indonesia, yang lokasi geografisnya berada di posisi silang antara Samudra Hindia dan Samudra Pasifik.
Atas dasaar pemikiran tersebut di atas, maka Global Future Institute bermaksud menyelenggarakan seminar terbatas dengan melibatkan para stakeholders kebijakan luar negeri. Baik dari Kementerian Luar Negeri, Kementerian Pertahanan, Komisi I DPR-RI bidang Luar Negeri, Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas), Lembaga-Lembaga Think-Thank bidang hubungan internasional, beberapa perguruan tinggi, maupun pelaku media.
Bentuk Kegiatan: Seminar Terbatas
Penyelenggara: GLOBAL FUTURE INSTITUTE
Waktu dan Tempat: Selasa, 15 Oktober 2019
Pembicara:
- Kementerian Luar Negeri
- Kementerian Pertahanan
- Komisi I DPR-RI
- Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas)
- Pelaku Media
Peserta:
- Unsur Perguruan Tinggi/Think-Thank
- Organisasi Kemasyarakatan Pemuda dan Kemahasiswaan.
- Para Mantan Duta Besar dan Diplomat Senior Kementerian Luar Negeri.
- Lembaga Kajian Politik dan Hubungan Internasional baik dari instansi pemerintah maupun swasta.
Jakarta, 9 September 2019