Jakarta, Global Future Institute (GFI) mengadakan Seminar Terbatas bertajuk “Membaca Kebijakan Luar Negeri AS terhadap Korea Utara serta Dampaknya Bagi Indonesia,” di Gedung Daria, Jakarta (9/11/2017).
Ketegangan antara AS dan Korea utara menyusul kebijakan agresif pemerintah Korea Utara dalam pengembangan dan uji coba persenjataan nuklirnya nampaknya semakin memanaskan eskalasi konflik global, terutama di Semenanjung Korea. Dan bukan tidak mungkin akan merembet ke kawasan Asia-Pasifik pada umumnya.
Demikian dikatakan Direktur Eksekutif Global Future Institute (GFI) Jakarta, Hedrajit, dalam Seminar Terbatas yang bertempat di Wisma Daria, Kebayoran Baru, Jakarta, Kamis (09/11/2017).
Menurutnya, terlepas dari manuver yang dilakukan pemerintah Kim Jong Un yang dipandang provokatif oleh Presiden AS Donald J Trump, nampaknya isu Korea Utara hanya sekadar sasaran antara atau sasaran Proxy War antara AS versus Cina yang semakin menajam di kawasan Asia-Pasifik belakangan ini. Sehingga manuver AS dalam penempatan dan penyebaran THAAD di Korsel, tidak bisa semata-mata dipandang sebagai reaksi terhadap ambisi nuklir Presiden Jung-un.
Lebih dari itu, THAAD harus dipandang sebagai isyarat AS untuk mengondisikan konflik militer berskala luas di masa depan terhadap Cina, atau bahkan mungkin juga dengan Rusia.
Namun demikian, profil Korea Utara sebagqai negara yang mandiri dariu segi ekonomi dan pengembangan teknologi tinggi, juga sempat disinggung oleh Hendrajit. Seperti filosofi ideologi resmi negara Korea Utara yang dikenal dengan sebutan “juche”, yang mengandung pengertian “self-reliance” atau “percaya pada kemapuan sendiri”. Nampaknya perlu juga dipertimbangkan sebagai salah satu aspek positif yang perlu dikaji lebih lanjut di waktu-waktu mendatang.
Sebab bukan tidak mungkin, kemandirian dan daya tahan Korea Utara sebagai negara-bangsa inilah yang sesungguhnya mendasari kekhawatiran Presiden Trump sehingga begitu agresif menyerang kebijakan pengembangan senjata nuklir dan uji coba rudal balistik antar benua yang dilancarkan pemerintahan Pyongyang.
“Ideologi juche ini mengingatkan kita pada konsep yang dicetuskan Bung Karno yaitu TRISAKTI yang juga mengedepankan kemandirian negara dalam tiga aspek, yaitu berdaulat secara politik, berdikari secara ekonomi dan berkepribadian secara sosial budaya,” demikian kata Hendrajit dalam sambutan pembuka sebelum memimpin secara langsung seminar yang menghadirkan empat pembicara tersebut.
Seminar terbatas yang bertajuk “Membaca Kebijakan AS terhadap Korea Utara dan Dampaknya bagi Indonesia, dihadiri beberapa perwakilan lembaga-lembaga pemerintah dan berbagai elemen masyarakat. Seperti Kementerian Pertahanan RI, Anggota DPR-RI Komisi I bidang luar negeri dan pertahanan, pengurus Lembaga Persahabatan Indonesia-Korea, dan beberapa diplomat senior Kementerian Luar Negeri seperti mantan Wakil Duta Besar Rusia dan mantan Duta Besar Kamboja Nurrahman Oerip, Hanif Salim yang saat ini menjabat Deputi Gubernur Lemhanas bidang Kajian Strategis, dan Iskandar.
Adapun peserta seminar dihadiri juga oleh beberapa mahasiswa perwakilan perguruan tinggi seperti Universitas Bung Karno, Program Ketahanan Nasional Universitas Indonesia, Universitas Borobudur, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Universitas Satyagama. Beberapa organisasi kemasyarakatan dan keagamaan yang hadir adalah dari Pelajar Islam Indonesia (PII), Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Indonesia (PB HMI) bidang luar negeri, Serta Forum Silaturahmi Anak Bangsa,
Hendrajit juga mengingatkan pemerintah RI agar jangan terpancing oleh tekanan diplomatik pihak AS maupun Cina untuk melancarkan embargo ekonomi dan perdagangan maupun aksi mengisolasi Korea Utara dari dunia internasional. Sebab dengan cara yang frontal seperti itu, justru akan menguntungkan negara-negara adikuasa untuk memanfaatkan Krisis Korea Utara sebagai alat politik untuk memainkan agenda-agenda strategisnya di kawasan Asia-Pasifik, dan Semenanjung Korea pada umumnya.
Maka, kehati-hatian pemerintah Indonesia dalam mengambil sikap politiknya terhadap ketegangan antara AS dan Korea Utara menjadi sebuah keharusan. Apalagi mengingat politik luar negeri RI yang bebas dan aktif. Yang mana selain berusaha untuk tidak masuk dalam perangkap persaingan global antara dua kutub, Indonesia juga harus mampu secara akftif menwarkan solusi-solusi atau terobosan baru. Dengan mengambil inspirasi dari Konferensi Asia-Afrika Bandung 1955 dan Gerakan Non-Blok 1961 di Beograd, Yugoslavia.
Dalam seminar terbatas ini, GFI mendapat kehormatan dengan hadirnya sejumlah pembicara, antara lain anggota Komisi I DPR RI Bobby Adhityo Rizaldi, Dirjen Strategi Pertahanan (Strahan) Kementerian Pertahanan Mayjen TNI Yoedhi Swastanto, Sekjen Perhimpunan Persahabatan Indonesia-Korea Dr Teguh Santosa dan diplomat senior Nurrahman Oerip. Aneka rupa pandangan dan analisis dari para pembicara atau narasumber, telah memberikan beberapa masukan yang cukup berharga.
Dalam paparannya, anggota Komisi I DPR RI Bobby Adhityo Rizaldi menyatakan ketegangan yang terjadi sepanjang tahun ini dinilai masih sebatas adu mulut antara Presiden AS Donald J. Trump dan pemimpin tertinggi Korea Utara, Kim Jong Un. (GFI)