Sekitar tahun 1980an ketika penulis masih duduk di Sekolah Dasar ada sebuah buku di perpustakaan sekolah yang berjudul A. A Maramis, SH dengan sampul warna kuning yang diterbitkan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Dari buku itulah penulis mengenal nama kota atau daerah di Sulawesi Utara seperti Manado, Tondano, Talaud dan lain-lain. Nama A.A. Maramis juga kembali muncul dalam ingatan penulis ketika bertugas di Kantor Pusat DJKN dimana terdapat Gedung A.A. Maramis yang berada dalam Kompleks Kementerian Keuangan. Saat sekarang penulis ditugaskan di Kota Manado nama A.A. Maramis kembali muncul dalam ingatan penulis dan mencoba mencari informasi bagaimana sepak terjang beliau dalam hidupnya dan apa yang disumbangkan dalam perjuangan kemerdekaan sehingga layak mendapatkan gelar Pahlawan Nasional.
Alexander Andries Maramis (A.A. Maramis) lahir Alexander Andries Maramis lahir di Manado, Sulawesi Utara, pada 20 Juni 1897. Ia merupakan putra dari pasangan Andries Alexander Maramis dan Charlotte Ticoalu. Tantenya juga Pahlawan Nasional Indonesia, Maria Walanda Maramis. A.A. Maramis menempuh pendidikan dasar di Europeesche Lagere School (ELS) di Manado. Ia kemudian masuk sekolah menengah (Hogere burgerschool, HBS) di Batavia (sekarang Jakarta).
Pada tahun 1919, A.A. Maramis berangkat ke Belanda dan belajar hukum di Universitas Leiden. Selama di Leiden, ia terlibat dalam organisasi mahasiswa Perhimpunan Indonesia (Indische Vereeniging). Pada tahun 1924, ia terpilih sebagai sekretaris perhimpunan tersebut. Maramis lulus dengan gelar “Meester in de Rechten” (Mr.) pada tahun 1924. Ia kemudian kembali ke Indonesia dan memulai kariernya sebagai pengacara di Pengadilan Negeri di Semarang pada tahun 1925. Setahun kemudian ia pindah ke Pengadilan Negeri Palembang.
A.A. Maramis diangkat sebagai anggota Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) yang dibentuk pada tanggal 1 Maret 1945. Di badan ini, Maramis termasuk dalam Panitia Sembilan. Panitia ini ditugaskan untuk merumuskan dasar negara dengan berusaha menghimpun nilai-nilai utama dari prinsip ideologis Pancasila yang digariskan oleh Soekarno dalam pidatonya pada tanggal 1 Juni 1945. Rumusan ini dikenal dengan nama Piagam Jakarta. Pada tanggal 11 Juli 1945 dalam salah satu rapat pleno BPUPKI, Maramis ditunjuk sebagai anggota Panitia Perancang Undang-Undang Dasar yang ditugaskan untuk membuat perubahan-perubahan tertentu sebelum disetujui oleh semua anggota BPUPKI. Pada tahun 1976 bersama Hatta, A.G. Pringgodigdo, Sunario Sastrowardoyo, dan Soebardjo, Maramis termasuk dalam “Panitia Lima” yang ditugaskan Presiden Suharto untuk mendokumentasikan perumusan Pancasila.
Maramis diangkat sebagai Menteri Keuangan dalam kabinet Indonesia pertama pada tanggal 26 September 1945. Ia menggantikan Samsi Sastrawidagda yang pada awalnya diberi jabatan tersebut pada waktu kabinet dibentuk pada tanggal 2 September 1945. Sastrawidagda mengundurkan diri setelah hanya menjabat selama dua minggu karena sakit. Sastrawidagda adalah orang pertama yang ditunjuk sebagai Menteri Keuangan Indonesia, tetapi karena waktunya yang sangat singkat, Maramis dapat dianggap, secara de facto, sebagai Menteri Keuangan Indonesia pertama. Sebagai Menteri Keuangan, Maramis berperan penting dalam pengembangan dan pencetakan uang kertas Indonesia pertama atau Oeang Republik Indonesia (ORI). Dibutuhkan waktu satu tahun sebelum uang kertas ini bisa dikeluarkan secara resmi pada tanggal 30 Oktober 1946. Nota-nota ini menggantikan uang kertas Jepang yang diedarkan oleh pemerintah Hindia Belanda (NICA). Uang dikeluarkan untuk denominasi 1, 5, dan 10 sen, dengan ditambah ½, 1, 5, 10, dan 100 rupiah. Uang tersebut dibuat dengan tujuan menggantikan mata uang lain yang sebelumnya digunakan rakyat Indonesia. Di samping itu Alex Maramis berpandangan bahwa, selain untuk bisa menutup kekurangan perbelanjaan dan mengendalikan jumlah uang yang beredar, mata uang republik juga dapat membuktikan kepada dunia luar serta kepada rakyat di dalam negeri bahwa pemerintah RI memang benar-benar berdaulat. Selain sebagai alat tukar yang sah, ORI juga memiliki makna lain. ORI adalah alat yang mempersatukan seluruh rakyat Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaan. ORI adalah alat perjuangan, demikian dikatakan oleh Oey Beng TO, mantan direktur Bank Indonesia dalam bukunya Sejarah Kebijakan Moneter Indonesia Jilid 1 (1945-1958).
Tanda tangan Maramis sebagai Menteri Keuangan terdapat dalam cetakan uang-uang kertas ini.Maramis menjabat sebagai Menteri Keuangan beberapa kali lagi, secara berurutan dalam Kabinet Amir Sjarifuddin I pada tanggal 3 Juli 1947, Kabinet Amir Sjarifuddin II pada tanggal 12 November 1947, dan Kabinet Hatta I pada tanggal 29 Januari 1948. Pada tanggal 19 Desember 1948, Belanda memulai Agresi Militer Belanda II pada saat pemerintahan Hatta. Soekarno, Hatta, dan pejabat pemerintahan lainnya yang berada di Yogyakarta ditangkap dan diasingkan ke Pulau Bangka. Maramis pada saat itu sedang berada di New Delhi, India. Dia menerima kawat dari Hatta sebelum Hatta ditangkap dengan instruksi untuk membentuk pemerintahan darurat di pengasingan di India seandainya Sjafruddin Prawiranegara tidak dapat membentuk pemerintahan darurat di Sumatra. Prawiranegara mampu membentuk Pemerintah Darurat Republik Indonesia dan Kabinet Darurat di mana Maramis diangkat sebagai Menteri Luar Negeri. Setelah Soekarno dan Hatta dibebaskan, Prawiranegara mengembalikan pemerintahan kepada Hatta pada tanggal 13 Juli 1949 dan Maramis kembali menjabat sebagai Menteri Keuangan.
Di antara tahun 1950 dan 1960, Maramis pernah mewakili Indonesia sebagai Duta Besar untuk empat negara: Filipina, Finlandia, Jerman Barat, dan Uni Soviet. Sebelumnya pada tanggal 1 Agustus 1949, ia diangkat sebagai Duta Istimewa yang bertanggung jawab untuk mengawasi perwakilan-perwakilan Indonesia di luar negeri. Pada saat itu, perwakilan Indonesia terdapat di Bangkok, Canberra, Kabul, Kairo, Karachi, London, Manila, New Delhi, Penang, Rangoon, Singapura, Washington, D.C., dan di kantor Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di Lake Success di Amerika Serikat. Karena Maramis dalam tugas pengawasannya terus berada di luar negeri, ia diikut sertakan dalam delegasi Republik Indonesia untuk Konferensi Meja Bundar sebagai penasehat.
Setelah hampir 20 tahun tinggal di luar Indonesia, Maramis menyatakan keinginannya untuk kembali ke Indonesia. Saat itu kondisi kesehatannya saat diluar negeri (Swiss) bersama istrinya Elizabeth Marie Diena Veldhoedt memang sudah tidak baik. Kondisi kehidupan yang individualistis di luar negeri semakin memperparah penyakitnya. Pemerintah Indonesia mengatur agar ia bisa kembali dan pada tanggal 27 Juni 1976 ia tiba di Jakarta. Di antara para penyambut di bandara adalah teman-teman lamanya Soebardjo dan Mononutu, dan juga Rahmi Hatta (istri Mohammad Hatta). Pada bulan Mei 1977, ia dirawat di rumah sakit setelah mengalami pendarahan. Maramis meninggal dunia pada tanggal 31 Juli 1977 di Rumah Sakit Angkatan Darat Gatot Soebroto, hanya 13 bulan setelah ia kembali ke Indonesia. Jenazahnya disemayamkan di Ruang Pancasila Departemen Luar Negeri dan dilanjutkan dengan upacara militer dan kemudian pemakaman di Taman Makam Pahlawan Kalibata.
Pada tanggal 8 November 2019, Alexander Andries Maramis dianugerahi gelar Pahlawan Nasional oleh Presiden Joko Widodo dalam sebuah upacara di Istana Negara. Yang menerima penghargaan mewakili keluarga ahli waris adalah Joan Maramis, cucu dari A. A. Maramis.
(Arip Budiyanto Kepala Seksi Kepatuhan Internal dan Plt. Kepala Seksi Hukum dan Informasi KPKNL Manado).
Sumber: https://www.djkn.kemenkeu.go.id/