JAKARTA. Janji presiden Jokowi untuk mengurangi utang bisa jadi tinggal kenangan. Sebab tahun ini pemerintah akan menambah utang dalam bentuk Surat Berharga Negara (SBN). Tambahan utang ini untuk mendanai proyek infrastruktur, energi, dan pangan, dan menambah Penyertaan Modal Negara (PMN).
Dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (RAPBN-P) 2015, porsi penerbitan SBN naik sekitar Rp 31 triliun menjadi Rp 308 triliun. Sebelumnya, dalam APBN 2015, penerbitan SBN hanya sebesar Rp 277 triliun. Alhasil, penerbitan utang secara keseluruhan (gross) tahun ini akan naik dari Rp 431 triliun menjadi sekitar Rp 460 triliun.
Dirjen Pengelolaan Utang Kementerian Keuangan (Kemkeu) Robert Pakpahan mengakui, defisit anggaran dalam RAPBN-P 2015 yang ditargetkan turun dari 2,21% dari PDB menjadi 1,9%, seharusnya menurunkan beban penerbitan utang pemerintah tahun ini.
Kata Robert, naiknya porsi penerbitan utang karena pemerintah akan menambah suntikan modal dalam Penyertaan Modal Negara (PMN) sebesar Rp 48 triliun. Suntikan PMN ini naik tinggi dari alokasi APBN 2015 sebesar Rp 7,32 triliun. Dana PMN ini akan diberikan kepada Badan Usaha Milik Negara (BUMN), terutama sektor infrastruktur. Anggaran PMN didapat dari penambahan utang. “Ada pembiayaan utang dan non utang. PMN termasuk pembiayaan utang. Jadi bukan buat belanja tapi untuk PMN,” ujar Robert, Senin (12/1).
Untuk mencapai target utang Rp 308 triliun tahun ini, pemerintah akan menerbitkan SBN berdenominasi rupiah dan valuta asing (valas). Tapi, Robert belum mau menjelaskan komposisinya. “Nanti kita lihat berapa kekuatan kita menyedot utang dari pasar domestik. Jangan sampai karena ngotot 80% rupiah, 20% valas, terus likuiditasnya kering,” imbuhnya.
Risiko SBN Valas
Direktur Strategis dan Portofolio Utang Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang (DJPU) Schneider Siahaan mengatakan, kendati utang itu dialokasikan ke sektor produktif, utang tahun ini memiliki risiko. Pertama, neraca keseimbangan primer masih defisit, dalam tiga tahun ini. Alasan lain, pinjaman berbasis multilateral, bilateral dan SBN valas relatif berisiko. Bila pemberi pinjaman atau pembeli utang tak setuju kebijakan pemerintah, mereka menarik pinjaman. “Pembiayaan seperti itu tidak berkelanjutan,” kata Schneider.
Ekonom Senior Bank Mandiri Andry Asmoro menilai, penambahan utang Rp 31 triliun di SBN tidak menjadi masalah jika digunakan untuk belanja produktif. “Kalau berutang buat pembayaran utang lagi tidak baik,” paparnya.
Pengamat Ekonomi dari Universitas Indonesia Chatib Basri menilai, penambahan porsi SBN dalam RAPBN-P 2015 sebesar Rp 31 triliun bisa dicermati dari dua sisi. Pertama, dari asumsi makro. Selama defisit anggaran tak bertambah, tambahan utang ini tidak berpengaruh terhadap stabilitas fiskal.
Kedua, dari sisi mikro. Imbal hasil alias return PMN harus sama atau lebih dari biaya yang dikeluarkan pemerintah dalam penerbitan SBN untuk PMN. Bila lebih kecil, pemerintah akan rugi. “Terpenting ialah seleksi proyek. Bila lahan tidak ada, tapi SBN sudah ada, ada biaya harus ditanggung,” ujarnya.
Editor: Yudho Winarto
Sumber: http://nasional.kontan.co.id