Oleh : Taufiequrachman Ruky (Ketua KPK 2003-2007)
Politik Para Bedebah
Politik praktis sebagai bagian dari kehidupan politik di Indonesia sudah menjadi politik yang pragmatis, politik yang premanis dan politik yang transaksional, bahkan ada seorang Adhi Massardi yang saking geramnya menulis puisi tentang negeri tercinta ini sebagai “Negeri Para Bedebah”, dengan mengacu kepada para elit kita yang ternyata adalah para koruptor pengeruk uang rakyat. Dan ternyata mereka para koruptor itu adalah para politisi dan birokrat yang sebagian besarnya adalah produk dari proses politik, baik itu pemilihan umum ataupun yang proses pemilihannya dilakukan oleh para anggota parlemen.
Kondisi politik seperti ini yang menyebabkan warga negara berkualitas, berkarakter dan bermartabat, orang baik baik dan orang bermoral, menjauhkan diri dan menjaga jarak dengan politik praktis dan posisi politik itulah yang apabila merujuk puisi tersebut kemudian diisi oleh para bedebah.
Pemburu Rente dan Penggila Kekuasaan
Dengan melihat dari apa yang terjadi pada pasca reformasi ini, maka Demokrasi kita ini adalah sebuah “democrazy”, yaitu demokrasinya para “Pemburu Rente dan Penggila Kekuasaan”, di mana sekarang ini ada kecenderungan dengan indikasi yang kuat, bahwa para Pemburu Rente dan Penggila Kekuasaan itulah yang diangkat sebagai kader partai politik dan yang kemudian di endorse untuk menjadi peserta pemilu, baik untuk menjadi Anggota Parlemen, menjadi Bupati/Walikota dan menjadi Gubernur bahkan untuk menjadi Menteri.
Kemudian Anggota Parlemen, Bupati/Walikota, Gubernur dan Menteri itu, yang karena memang berasal dari Pemburu Rente dan Penggila Kekuasaan, maka jabatan dan kekuasaan yang mereka peroleh itu kemudian mereka gunakan untuk memperkaya diri dan keluarganya, untuk membiayai kegiatan politiknya guna melangengkan kekuasaanya. Ironinya, mereka yang asalnya bukan dari kelompok Pemburu Rente dan Penggila Kekuasaan pun kemudian ikut melakukan hal yang sama.
Para Pemburu Rente dan Penggila Kekuasaan itu juga lah yang memilih Hakim dan Ketua Mahkamah yang terkemudian nya beberapa Hakim dan Ketuanya pernah hanyut dan kemudian menjadi penjual kewenangan dan pemakan suap. Para Pemburu Rente dan Penggila Kekuasaan ini juga lah yang memilih dan mengangkat para Perwira, Cendikia dan para Pamong untuk menjadi pemangku kewenangan lainnya pada berbagai Lembaga Negara dan mereka itupun kemudian belakangan ikut ikutan juga jadi penjual kewenangan dan penyalah guna kekuasaan. Perbuatan memperkaya diri dan keluarga serta kroninya dengan cara menyalah gunakan kewenangan/ kekuasaan, dan kegiatan memakan suap/penerimaan tidak syah itulah yang kita sebut sebagai Korupsi.
Politik dan Demokrasi yang Berbiaya Sangat Tinggi
Jangan tanya kepada kepala mereka, tetapi tanyakan kepada hati mereka, mengapa mereka melakukan Korupsi, maka jawabannya akan sangat jelas dan sayangnya hanya terdengar oleh telinga mereka sendiri, bahwa itu semua mereka lakukan karena untuk berkiprah dan eksis pada politik praktis dan menjadi pemenang dalam berdemokrasi ini, memerlukan biaya sangat tinggi. Bahwa untuk duduk dalam jabatan publik yang terhormat dan berkuasa itu mereka “membayar mahar” dengan sangat tinggi kepada endorsementnya dan juga membayar biaya yang banyak kepada pemilihnya, sehingga korupsi yang mereka lakukan itu adalah bagian dari upaya mereka untuk mengembalikan modalnya dalam mengejar jabatan dan posisinya itu, dan juga bagian dari upaya untuk melanggengkan kekuasaan, jabatan dan posisi politik mereka.
Masive, Sistemik dan Terstruktur
Demokrasi berbiaya sangat tinggi dengan segala akibat kehancuran yang ditimbulkannya, itulah yang tidak pernah mau diakui secara terbuka oleh para politisi kita saat ini. Apabila kita ajak diskusi tentang hal itu semua sembunyi dan berlindung di balik kata : Ekses dan Oknum.
Ekses ? apanya yang ekses, wong kejadian nya di mana-mana dan merata. Oknum ? apanya yang oknum, wong jumlahnya sudah sebanyak itu koq, masih dibilang oknum.
Kalau Korupsi, sudah terjadi secara Massive, Sistemik dan Terstruktur seperti sekarang ini, bukan ekses lagi namanya, bukan oknum lagi disebutnya, tapi sudah menjadi out put, sudah jadi produk. Maka tidak heran juga bahwa proyek suap menyuap, penyalahgunaan kekuasaan dan wewenang sudah dianggap biasa dan bahkan meraja lela, dan akibatnya penyelenggaraan pemerintahan menjadi tidak efektif dan tidak efisien. Semua hal itu adalah out come dari sistem politik dan cara kita berdemokrasi yang kita banggakan sebagai hasil dari reformasi 20 tahun yang lalu. (Lanjut baca : Oligarkhi Politik dan Dinasti Politik )