Dr. Dina N. Fitria : Tiga Solusi Prabowo-Sandi Atasi Ketimpangan

Loading

Jakarta, BINA BANGUN BANGSA – Gini ratio merupakan ukuran distribusi pendapatan dalam kisaran angka nol hingga angka satu. Idealnya perekonomian yang baik suatu negara berada pada kisaran gini ratio di angka nol. Artinya distribusi pendapatan merata sempurna dalam perekonomian tersebut dan tidak terjadi ketimpangan. Yang dihindari adalah gini ratio mendekati kisaran angka 0,5 hingga 1. Artinya perekonomian negara tersebut berada pada ketimpangan yang tinggi, mendekati distribusi pendapatan yang tidak merata sempurna. Perputaran ekonomi hanya dikuasai oleh satu pihak, jadi hanya satu orang atau satu pelaku ekonomi saja yang menghidupi seluruh aktivitas perekonomian negara, sehingga tidak terjadi pemerataan pendapatan. Kita tentu tidak menginginkan situasi itu terjadi.

Dina Nurul Fitria, analis kebijakan publik mengatakan di era pemerintahan Presiden Joko Widodo memasuki tahun kelima, data World Bank menunjukkan bahwa antara tahun 2014-2017 laju kemiskinan menurun hanya sebesar 0,2 persen rata-rata per tahun. Lebih kecil dibandingkan laju kemiskinan di pemerintahan sebelumnya yaitu tahun 2007-2014 yang rata-rata penurunannya sebesar 0,8 persen per tahun.

Angka 0,2 persen itu tidak berarti apa-apa di banding pemerintahan sebelumnya. Artinya laju konsumsi juga rendah sebesar 0,2 persen.

Di sisi lain Pemerintahan Jokowi mengalihkan sumber-sumber pertumbuhan ekonomi dari konsumsi ke produksi dengan pembangunan infrastruktur yang skalanya massif dan terjadi di semua lini sejak 2014 sampai saat ini. Namun sayangnya trickle down effect (efek ke bawah) yang diharapkan dari pembangunan infrastruktur untuk memacu perekonomian daerah sekitar belum tampak. Dana desa juga banyak yang belum terserap, bahkan Kredit Usaha Rakyat yang sudah diturunkan suku bunganya juga tidak terserap. Ini artinya infrastruktur yang dibangun pemerintah mengalami masalah besar, yang tadinya diharapkan dapat memacu roda pertumbuhan ekonomi dari desa kemudian berlanjut ke kota dan nasional ternyata tidak beranjak.

Konsekuensi dari penurunan laju konsumsi sebesar 0,2 persen adalah daya beli semakin rendah. Kesenjangan antara pendapatan kelas menengah dengan kelas bawah dimana hanya sedikit perubahan yang mendongkrak dari kelas bawah ke menengah. Perubahannya hanya di angka Rp 17 ribu per kapita per hari diukur dari standar daya beli di tahun 2011. Artinya memang ada kenaikan dari pendapatan kelas bawah ke menengah, tetapi hanya sebesar Rp 17 ribu per hari per kepala. Di sisi lain, pendapatan kelas menengah dalam empat tahun terakhir ini berkurang Rp 29 ribu per kapita per hari. Konsekuensi dari perubahan pendapatan itu membuat total laju konsumsi hanya berkisar 4,77 persen selama empat tahun ini.

Gini ratio dipengaruhi oleh laju konsumsi yang terlalu rendah. Bayangkan saja, dari tahun 2007 ke 2014 masyarakat masih mampu melakukan konsumsi rata-rata 0,8 per persen hari. Tetapi sekarang hanya 0,2 persen.

Konsumsi yang terlalu rendah ini bisa disebabkan ada pendapatan masyarakat yang ditabung dan diinvestasikan. Namun ternyata perbankan saat ini kesulitan mengucurkan kredit. Artinya konsumsi yang rendah ini karena pendapatan masyarakatnya turun. Golongan kelas menengah turun pendapatannya Rp 29 ribu per kapita per hari. Inflasi selama empat tahun terakhir juga rendah.

Kondisi ini anomali karena inflasi dan laju konsumsi rendah, tapi tabungan dan kredit juga rendah. Laju konsumsi yang terlalu rendah membuat pertumbuhan ekonomi juga rendah rata-rata di kisaran 3,9 persen dari tahun 2014-2018.

Pada pemerintahan sebelumnya, pertumbuhan ekonomi masih di kisaran 6 sampai 7 persen. Enam belas paket kebijakan yang dikeluarkan pemerintah tidak cukup kuat untuk mendorong investasi. Mungkin ada investasi tetapi sifatnya jangka pendek, bukan investasi seperti membangun pabrik atau membuka lahan pertanian menjadi produktif, investasi untuk meningkatkan kemampuan nelayan dalam menangkap ikan. Kondisi ekonomi global mungkin juga berpengaruh, tetapi dalam dua tahun terakhir negara lain justru mencatat laju pertumbuhan ekonomi yang positif di kisaran 0,8 sampai 2 persen. Bahkan Produk Domestik Bruto (PDB) di India sudah mencapai 7 persen.

Berbeda dengan negara kita karena terlalu rendah laju konsumsinya. Selain laju konsumsi kita yang rendah, di satu sisi pemerintah juga memperluas basis pajak, bahkan pedagang online pun akan dikenakan pajak. Mestinya ada insentif yang datang dari pemerintah baik berupa subsidi atau lainnya.

Kondisi bangsa Indonesia saat ini sama dengan kondisi bangsa Indonesia pada saat terlepas dari krisis ekonomi tahun 1998, tepatnya di awal tahun 2003 atau 2004. Pada kondisi seperti ini masyarakat memiliki daya tahan yang kuat terhadap ekonomi. Meskipun konsumsinya rendah, masyarakat memiliki cara untuk mengatasinya dengan cara sharing ekonomi atau pemilikan bersama aset. Misalnya lahan di bawah satu hektar yang biasanya dikuasai satu orang bisa dikerjakan bersama-sama dalam satu kelompok.

Ironisnya di Indonesia kepemilikan lahan yang luas justru dari kalangan pemodal yang kuat, seperti kepemilikan lahan perkebunan dan lahan tambang. Sementara lahan milik rakyat atau individu di bawah satu hektar diusahakan secara berkelompok dan bergotong royong. Memang di saat situasi ekonomi dengan laju konsumsi rendah, gotong royong sangat berperan penting.

Capres nomor urut 02 Prabowo Subianto dalam pidato kebangsaan bertema Indonesia Menang menyoroti secara khusus mengenai ketimpangan dalam hal apapun. Baik ketimpangan dari sisi aset, kemanfaatan sumber daya alam maupun ketimpangan dari sisi pendapatan.

“Beberapa kali beliau menarasikan hal tersebut dengan bahasa yang lugas dan mengandung visi ke depan yang memberikan harapan. Dalam visi -misi beliau dijelaskan mengenai harga yang sifatnya mutual benefit, baik dari penjual maupun pembeli sama-sama mendapatkan manfaat dari harga yang ditetapkan.

Jadi jangan sampai ada pihak yang merasa bahwa harga yang ditetapkan itu justru mendorong ketimpangan semakin melebar,”jelas Dina.

Dina menilai dalam hal kepemilikan aset lahan, memang pemerintahan Jokowi sudah melaksanakan sertifikasi lahan. Namun selama ini kita selalu berkutat dengan masalah izin lahan, tapi lupa dengan kemanfaatan. Prabowo-Sandi dalam 2 atau 3 tahun pertama memimpin bangsa sebaiknya fokus dalam redistribusi manfaat. Lahan yang dimiliki negara banyak sekali khususnya dimiliki oleh BUMN.

Sebaiknya lahan tersebut ditingkatkan kemanfaatannya yang bisa menyerap tenaga kerja yang banyak, seperti untuk diversifikasi pangan. “Masalah harga dan lahan sangat penting di sektor pertanian. Jadi kembalilah kepada akar budaya kita yang merupakan negara agraris. Lebih fokus dalam redistribusi lahan, tidak lagi berkutat pada masalah izin karena tanah memiliki fungsi sosial dan ekonomi. Jangan sampai masyarakat adat merasa tercabut dari tempat asalnya hanya karena izin lahan itu punya perusahaan tertentu. Padahal Indonesia terdiri dari beragam suku, adat dan istiadat,” jelasnya.

Selain itu, menurut Dina, aset negara perlu dibenahi. Badan Usaha Milik Negara (BUMN) saat ini sedang berburu global bond atau obligasi internasional untuk bisa lebih cepat tumbuh dan memiliki manfaat ekonomi kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). BUMN memiliki kewajiban menyetor dividen dan melakukan ekspansi dan divesifikasi usaha. Semua itu harus mendapat dana dari investasi, sehingga BUMN berburu global bond. Tetapi BUMN tiap bulan harus membayar kupon bunganya. Untuk membayar kupon bunga diperlukan pendapatan yang berasal dari core business BUMN atau diversifikasi usaha lain dan memanfaatkan aset BUMN yang ada. Seperti Pelindo selain memiliki pelabuhan, juga memiliki pergudangan dan transportasi di logistik khusus di pelabuhan.

Pelindo bisa bekerjasama dengan Garuda Indonesia. Ketika Garuda Indonesia ada kargo atau bagasi yang membutuhkan transportasi antar pulau bisa bekerjasama dengan Pelindo yang melakukan proses logistik darat, laut dan udara. Jadi kerjasama sinergi antar BUMN sangat perlu dilakukan.

Dina menyarankan kepada Prabowo-Sandi jika menang di Pilpres 2019, ada beberapa solusi untuk mengatasi masalah gini ratio, yaitu pertama meningkatkan konsumsi, kedua redistribusi manfaat lahan khususnya manfaat lahan sebagai fungsi sosial dan fungsi ekonomi, ketiga sinergi antar BUMN. “Jadi BUMN-BUMN karena asetnya milik negara bisa berkreasi untuk

mendapatkan deviden yang masuk ke APBN, sekaligus bisa mendapatkan kupon bunga obligasi internasional dengan melakukan sinergi. Benang merahnya adalah ekonomi gotong royong untuk Indonesia menang,”
pungkasnya. (Ekawati)

(Artikel ini telah diterbitkan oleh SWARA INDONESIA RAYA, edisi 04, Februari 2019)

×

 

Hello!

Click one of our contacts below to chat on WhatsApp

× ada yg bisa kami bantu?..