Kembalikan Pancasila dan UUD 45 Agar Bisa Menemukan Ke-Indonesia-an Kita

Loading

Oleh : Taufiequrachman Ruky

Sudah terlalu lama kita menjadi bangsa yang-saya pribadi menilai sebagai-munafik atau hipokrit. Dan kalau suka dengan bahasa halus, kita tidak memiliki komitmen yang kuat dalam memegang prinsip-prinsip berbangsa dan bernegara. Setiap rezim dan periode, mengaku Pancasilais dan berbusa-busa menyatakan melaksanakan Pancasila secara murni dan konsekuen. Tapi perilakunya selama ini jauh dari Pancasilais.

Sifat dan perilakunya feodalistis, individualistis, egoistis, pragmatis, materialistis. Dan apabila melekat pada dirinya kekuasaan, apalagi kekuasaan itu besar, dengan mudah mereka akan cenderung menjadi totaliter, otoriter, semena-mena, dan menghalalkan segala cara. Semuanya itu justru bertentangan dengan nilai-nilai dan semangat yang terkandung di dalam Pancasila. Menyedihkan sekali.

Belakangan ini di dunia politik praktis, banyak beredar slogan dan ungkapan “Aku Pancasila” serta tuduhan terhadap kelompok lainnya sebagai tidak paham Pancasila,bahkan anti-Pancasila, anti-NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia). Pancasila yang mana yang mereka maksudkan ?

Pahamkah mereka-yang mengaku Pancasilais-bahwa Pancasila yang digagas bapak bangsa kita, Bung Karno, dan dikukuhkan secara resmi sebagai Dasar Negara dalam UUD 1945 pada tanggal 18 Agustus 1945 itu, semenjak tahun 2002 sudah tidak lagi menjadi Dasar Falsafah Negara dan tidak lagi menjadi sumber kebijakan bagi penyelenggaraan pemerintahan serta pengelolaan negara. Pancasila sudah dinyatakan hanya sebagai salah satu dari empat pilar kebangsaan,-bahkan kalau mau jujur,- sebagai pilar itupun sesungguhnya tidak ada fungsinya.

Baca Juga :  Prijanto: Kembali ke UUD 1945 Bukan Untuk Menghidupkan Kembali Dwifungsi ABRI

Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 yang merupakan prinsip dan acuan dasar dalam penyelenggaraan negara dan pemerintahan, pada tahun 2002 sudah dibongkar total, tidak tanggung-tangung perubahannya sampai 300 persen ?

Apakah itu tetap mau dinamakan UUD 1945, dengan tujuan untuk mengelabui agar para anak bangsa yang bersumpah setia kepada Pancasila dan UUD 1945 -seperti aparatur negara, aparatur pemerintah, para prajurit Tentara Nasional Indonesia yang memegang teguh Sumpah prajurit, dan anggota polri yang menjunjung tinggi Tri Brata,- tidak menentangnya?

Padahal perubahan UUD 1945 itu jelas-jelas manipulatif dan kamuflase, penuh dengan permainan kata-kata. Dengan bahasa terang, UUD 1945 sekarang ini telah menjadi UUD Palsu. Kalau mau jujur dan mau dengan ungkapan yang lebih halus, maka UUD kita sesungguhnya adalah UUD 2002.

UUD yang dibuat pada tahun 2002 dengan cara melakukan amandemen terhadap UUD 1945, telah menjadikannya kehilangan jiwanya, spiritnya, dan semangatnya. Norma Pancasila ada di dalam Pembukaan UUD, namun nilai-nilai Pancasila tidak pernah dituangkan ke dalam batang tubuh UUD berupa pasal-pasal. Bahkan rumusan kata Pancasila itu sendiri pun tidak dituangkan dalam UUD 2002. Sementara itu terang- terangan ada sejumlah pasal baru hasil amandemen yang nilai-nilainya bertentangan dengan makna dan nilai dari sila-sila dalam Pancasila yang ada pada Pembukaan UUD 1945. Karena itu, slogan Pancasila tidak ada arti dan manfaatnya, yang ada hanya mudaratnya saja. Pancasila kita sudah menjadi ruh gentayangan dan genderuwo politik, UUD 2002 atau UUD 1945 Palsu itu dari kacamata kePancasilaan adalah zombie, yakni jasad hidup atau jasad tanpa jiwa, alias walking dead.

Dampak buruk lainnya dari UUD 2002 itu adalah ber-kembangnya individualisme, liberalism, dan kapitalisme. Dan semua itu kini sudah mulai kita rasakan sebagai ancaman atas kebhinnekatunggalikaan kita, dimana intoleransi, konflik horizontal, ketidakharmonisan secara vertikal antara pemerintah pusat dan daerah serta antar-pemerintah daerah merebak di mana-mana. Satu sama lain saling mengklaim cinta NKRI, tapi mencari kesalahan dan mencoba memarginalkan, bahkan menumpas lawan-lawan politiknya.

Baca Juga :  Alumni Jerman Ingin Kembali Ke UUD 1945 Asli

Sistem pemilu dengan kepartaiannya, disamping telah mengoyak asas Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan/Perwakilan, juga terbukti telah tidak mampu melahirkan kader-kader terbaik untuk tampil menjadi pemimpin bangsa. UUD 2002 telah membentuk demokrasi prosedural dan demokrasi formalitas yang berbiaya tinggi dalam belantara politik yang liar dan keras.

Pertarungan yang liar dan keras hanya akan melahirkan semacam Land Lord atau segelintir elite penguasa di dalam sistem kepartaian. Demokrasi yang berbiaya tinggi akan membuat uang menjadi sangat berkuasa. Artinya orang kaya, kaum pemodal, dan kapitalis-lah yang lambat laun akan menguasai partai-partai politik, bukan rakyat, dan selanjutnya mereka akan menguasai bangsa dan negara Indonesia. Dan siapakah mereka itu ? Mereka itu hanyalah segelintir orang, sekelompok yang sangat kecil. Maka sepandai, sehebat, dan sebaik apa pun jika kita tidak punya uang buat berkiprah dalam kegiatan politik praktis, maka tidak akan bisa menjadi wakil rakyat yang duduk di DPR/MPR/DPRD/DPD, apalagi kepala daerah dan presiden. Sementara bagi rakyat kebanyakan, jika sistem ini terus berlangsung, maka ia hanya akan menjadi buruh, menjadi budak di negeri kita sendiri.

Baca Juga :  Heppy Trenggono : Winning the Crisis

Padahal salah satu cita-cita Proklamasi Kemerdekaan adalah menjadikan rakyat kita sebagai tuan di negeri sendiri.

(Artikel ini dilansir dari buku Rumah Kebangkitan Indonesia/Gerakan Kebangkitan Indonesia (GKI) : “Mengapa Kita harus Kembali Ke UUD 1945 ?”, Penerbit Buku Republika, 2019, hal iii-vi)

× ada yg bisa kami bantu?..