Oleh : Iwan Piliang, Citizen Reporter
Jakarta, BINA BANGUN BANGSA – Bagaimana persepsi Anda tentang tukang sampah di Jakarta? Untuk mengungkap hal itu, kanal teve Inggris, BBC Two, pada awal 2012, sengaja mendatangkan Wilbur Ramirez. Sosok tukang sampah di Kerajaan Inggris itu, mereka minta memungut sampah mendampingi tukang sampah Jakarta. Pilihan jatuh ke kawasan Guntur, Jakarta Selatan. Lantas mengudaralah program teve bertajuk The Toughest Place to be A Binman. Tayang awal 2012 lalu.
Kontennya, Ramirez mereka pertemukan dengan tukang sampah, Imam Syafii. Mereka berdua sama-sama kerja memungut sampah. Hasilnya: Imam memungut sampah 3 RT berkeliling dengan gerobak ber-gir kriuk-kriuk. Dinding gerobak kawat berkarat. Ban licin. Gerobak terbuka menganga. Penampilan Imam bersandal jepit, celana digulung, bagian bawah bertatah tanah. Imam bekerja pagi dan siang.
Bandingkan dengan Ramirez. Ia bekerja untuk kawasan 3 blok. Ia menyetir mobil sampah dengan ruang ber-AC. Ramirez berbaju oranye ber –spotlight silver. Dua garis warna metal menghiasi bagian lingkar bawah celananya. Ia bersarung tangan karet kuning tebal. Imam boro-boro. Imam memungut sampah dengan tangan terbuka. Jam kerja Ramirez hanya di pagi hari.
Untuk menyebut penghasilan bulanan, kerongkoran bagaikan usai lari 10 km belum meneguk minum. Imam berpenghasilan Rp 800 ribu, plus tambahan tips dari warga dengan angka tak menentu. Ia tinggal di pemukiman berdinding triplek, 3 x 3 meter dihiasi temaram dengungan banyak nyamuk. Sementara Ramirez, tinggal di rumah berdinding batu permanen. Biaya sekolah anaknya gratis.
Setelah 10 hari bekerja dan tinggal bersama Imam, Ramirez berkomentar “Saya sangat kagum dan takjub dengan kehidupan Imam.”
Pekan lalu, M.Taufik, Pimpinan Pusat Kajian Jakarta bersama Bangun Gotong Royong Jakarta (Bangrojak), kepada media di Galeri Café, Taman Ismail Marzuki, Cikini, Jakarta Pusat, menyampaikan bahwa, “Pengelolaan sampah di DKI yang telah diswastakan di 44 Kecamatan, ternyata pemborosan masif. Hanya menguntungkan segelintir kalangan tertentu saja.”
Pemborosan dimaksud Taufik, biaya sapu jalan Rp 27,77 per meter persegi. Biaya angkut dengan truk besar Rp 167,143/ton, ke tempat pembuangan akhir. Dan pengolahan di pembuangan akhir mencapai Rp 180 ribu/ton. “Sehingga untuk biaya sampah di DKI Jakarta, bisa lebih dari Rp 350 ribu per ton. “Itu setara dengan harga batubara kalori rendah, 5.500,” ujar Taufik.
Sehari tonase sampah di DKI Jakarta 6.500 ton.
Bila program kerja Jokowi-Ahok sebagai Gubernur dan wakil Gubernur untuk menciptakan padat karya, maka menciptakan lapangan kerja di sektor sampah ini, bisa menjadi pilihan tepat. Logika Taufik, bila kerjasama dengan swasta dihentikan, maka tukang gerobak seperti Imam Syafii yang bekerja di kawasan Guntur, Jakarta Selatan itu, bisa bergaji tetap setidaknya Rp 2 juta sebulan. Ia dapat memperoleh asuransi kesehatan dan pendidikan anak gratis sebagaimana didapat oleh Ramirez.
“Setidaknya bisa dibuka 5.000 peluang kerja baru di DKI Jakarta. Lebih dari itu, sosok pemungut sampah gerobak, menjadi lebih manusiawi bekerja di tengah gedung mentereng Jakarta,” tutur Taufik.
Logika Taufik layak mendapatkan dukungan. Apalagi dalam verifikasi saya di lapangan, swastanisasi sampah di 44 kelurahan, terindikasi hanya melanggengkan jalinan temali kartel sampah di DKI Jakarta. Indikasi kebocoran besar dapat saya temui ketika mengikuti truk yang pengangkut sampah ke bantar gebang. Truk-truk yang berlabel swasta, ternyata banyak menggunakan truk Pemda DKI. Lah mana investasi swasta itu?
Di tempat penampungan akhir, patut diduga tajam permainan timbangan terjadi. Seluruh muatan sampah, berikut truk-truk butut, ditimbang. Dan tidak ada timbangan bagi truk keluar. Pemda membayar sesuai timbangan sampah ke pihak swasta. Bila disimak truk Pemda yang tonasenya maksimum 7 ton, dalam laporan swasta menagih ke Pemda DKI, mereka mengakut satu rit, satu kali jalan 14 ton. Berbeda dua kali lipat.
Angka total tonase 6.500 ton sampah perhari itu pun sangat layak diaudit. Karenanya sebagaimana komentar Boy Sadikin, anggota DPRD, juga ketua DPD PDIP DKI, agar pengelolaan sampah ini diaudit, sudah sepantasnya dan kudu dilakukan.
Selain hal di atas, kepada kawan-kawan media pekan lalu sambil berseloroh saya mengatakan: Jika saya diminta mengelola kebersihan dan taman di lingkungan Monumen Nasional (Monas) saat ini, maka buah-buah kelapa tua coklat bergelayutan di beberapa rumpun pohon kelapa di sana, akan saya sepuh emas. Agar selanggam dan seirama dengan emas yang ada di puncak Monas. Mengingat anggaran yang disediakan Pemda untuk kebersihan Monas mencapai Rp 50 miliar setahun. Angka Rp 50 miliar ini setara untuk mengurus di 5 wilayah anggarannya tersedia di Sudin, total Rp 250 miliar setahun.
Sementara anggaran lebih Rp 1 triliun di Kepala Dinas Kebersihan, juga layak mendapatkan audit yang transparan. Apalagi di media pekan lalu, Unu Nurdin, Kepala Dinas Kebersihan, seperti di Poskota, 30 Juni 2013 kemarin, mengklaim pembelaan terhadap perusahaan operator di tempat pengolahan akhir. Ia mengatakan,” Tidak ada masalah dengan operator dan pengelolaan 6.500 ton sampah tak masalah.”
Bila tonase sampah itu saja terindikasi tajam sebuah angka penggelembungan volume, belum indikasi markup biaya, kalimat Unu menjadi tanda tanya. Lebih menjadi tanda tanya lagi mengapa sosok yang seharusnya sudah pensiun menjadi Kepala Dinas Kebersihan, justru dilantik di saat persis di hari pensiunnya? Adakah kekuatan kartel sampah demikian sakti di DKI Jakarta? Kendati pun Gubernur Jokowi sudah begitu transparan? Entahlah.
Yang jelas Paparan M Taufik di atas dapat menjawab kenyataan yang ada. Apalagi jika kerendahan hati verifikasi media nyata. Maka angka-angka, disampaikan Taufik, akan lebih bermanfaat bagi menciptakan lapangan kerja baru.
Sehingga bisa mengangkat nasib dan kehidupan pengangkut sampah seperti Imam Syafii. Kendati tak sehebat Ramirez di Inggris, paling tidak bisa membuat mereka manusiawi. Jika hal itu dilakukan, artinya Pemda DKI Jakarta tidak memperkaya juragan sampah yang hanya beberapa gelintir orang, namun mereka labih acap bermain golf, termasuk mara ber-golf ke Pebble Beach, yang telah lima kali menjadi host US Open itu.