Make Indonesia Great Again
Oleh: M. Arief Pranoto*
Munculnya statement “Make Indonesia Great Again” (selanjutnya disingkat: MIGA) dari salah satu capres yang akan berlaga pada pemilihan presiden (pilpres) 2019, tak ayal menambah kegaduhan lagi terutama di dunia media sosial (medsos). Maklum ada dua kubu saling berhadapan secara masif dan intensif sejak pilpres 2014 lalu. Ya kegaduhan saling bully, saling ejek, dll. Contohnya, bahwa dikatakan statement itu menyontek “Make America Great Again“-nya Donald Trump, ini meniru asing, itu plagiasi, dan lain-lain.
Hal-hal di muka, itulah cerminan publik kita yang lebih suka melihat kulit namun malas mencermati isi, cuma mengetahui kwitansi namun abai mengurai substansi. Padahal kredo soal masa lalu menyebut bahwa sejarah itu berulang. Sunatullah. History repeat itself. Berputar (tawaf) seperti gerak bumi. Poin intinya adalah, bahwa pola di setiap peristiwa (sejarah) niscaya hampir mirip, ada kesamaan, dst yang berbeda hanya aktor, waktu dan bungkus atau kemasan. Apakah salah atau keliru bila kita menarik hikmah atas peristiwa di negara luar atau daerah lain untuk dijadikan pembelajaran bagi kita? Tentu tidak. Kenapa? Ambil benang merah, tarik substansinya. Itulah langkah cerdas, bijak lagi berwawasan.
Baca Juga:
- Takdir Geopolitik Meniscayakan Bangsa Indonesia Takkan Pernah Anti Asing
- Benarkah Perang Candu Kini Menyasar Indonesia?
- Jalur Sutera Modern Adalah Geostrategi China
Kembali ke MIGA yang menjadi kontroversi baru di dunia maya. Jadi, apapun, siapapun dan dimanapun. Entah Make America Great Again, entah Ganyang Malaysia, atau British Exit (Brexit), entah NKRI Harga Mati, ataupun American First, dst inti (ruh) polanya sama yaitu kembali ke nasionalisme, yakni upaya meramu serta merajut kembali rasa cinta kepada tanah air yang telah tercabik-cabik akibat dampak (negatif) globalisasi.
Ya, bicara nasionalisme, itulah ideologi bangsa manapun dan negara apapun di muka bumi. Tak boleh tidak. Nasionalisme itu “baju wajib” bahkan mutlak bagi semua bangsa di dunia. Tanpa nasionalisme, suatu bangsa ibarat telanjang di mata global. Tak ada ciri khas, tak punya identitas, rapuh, tidak punya daya juang, survival, dan seterusnya.
Di era modern, praktik nasionalisme bisa menjelma ke dalam narasi apapun, bisa kemana saja, tetapi narasi paling menonjol yang kerap digunakan dalam diplomasi ialah “kepentingan nasional” atau national interest. Atas nama kepentingan nasional, sebuah negara bisa menjajah negara lain, intervensi, bahkan berperang. Itu inti narasi hal-hal di atas. Maka tatkala ada pihak yang kontra terhadap MIGA kemudian mempertanyaan, “Kapan Indonesia pernah great?” Lho, bukankah Indonesia itu baru lahir tahun 1928; sedangkan Majapahit, Sriwijaya, atau Nusantara tempo doeloe itu tidak identik dan bukan Indonesia? Jadi, kalau menyatakan MIGA, sekali lagi, “Kapan Indonesia itu pernah besar?” Itulah dialog-dialog kecil di medsos dengan beragam cara dan bentuk.
Nah, catatan kecil mencoba menjawab sedikit pro kontra itu, tanpa sedikit pun niat menggurui para pakar serta pihak yang berkompoten. Sekali lagi, tidak ada maksud untuk berpihak kepada kubu ini, kubu itu, pihak A ataupun B. Note ini murni kajian berbasis geopolitik dan histori. Niat penulis hanya meluruskan persepsi publik namun sebatas kemampuan penulis. Ya sebatas kemampuan penulis, oleh karena secara mutlak, catatan ini sendiri juga belum tentu benar. Mengapa begitu, bahwa kebenaran itu datang dari Tuhannya sedang kebenaran olah pikir manusia atas nama ilpengtek sifatnya cuma nisbi, relatif, dan bergerak (mendekati kebenaran-Nya) sesuai tuntutan zaman. Inilah uraian sederhananya.
Pertama, dari perspektif geopolitik. Bahwa sejatinya, saat ini Indonesia itu sudah hebat, great, luar biasa, superpower sejati, dll. Kenapa? Tengoklah. Jika Amerika Serikat, Inggris, Australia, China, Rusia, Arab Saudi, Malaysia dll mereka mengamalkan aliansi, melakukan persekutuan serta berkelompok melalui berbagai pakta-pakta pertahanan seperti melebur diri ke NATO misalnya, atau Commonwealth, BRICS, ANZUS, ataupun ISAF, NATO-nya Asia Tenggara dst. Lantas, kemana aliansi Indonesia selama ini? Jawabannya, “Tidak! Tidak sama sekali”. Ya hingga kini, Indonesia masih bersolo-karir meniti ombak di panggung (geo) politik global. Entah kenapa. Apakah karena doktrin politik bebas aktif; entah akibat takdir geopolitik yang sangat strategis di antara berbagai pusaran dunia; apakah karena Indonesia dinilai sebagai nenek moyang bangsa-bangsa, kata Arysio Santos. Entahlah. Disiplin ilmu saya belum mampu menjawab retorika kenapa Indonesia konsisten bersolo-karir sejak proklamasi 1945. Dan oleh karena realita itulah, bahwa Indonesia itu sebenarnya hebat, great, dan superpower sejati. Apapun alasan.
Kedua, dari aspek sejarah. Kredo sejarah adalah perulangan. Sejarah niscaya berulang. Demikian pula kejayaan nusantara pasti berulang. Kejayaan Majapahit, misalnya, ia adalah perulangan keemasan Sriwijaya, atau mungkin keemasan Sriwijaya perulangan masa Kahuripan, era Medang Kamulyan, era Wangsa Keling, dst yang tak tertulis atau tersurat dalam sejarah nusantara secara utuh. Intinya, ada perulangan entah kejayaan, atau keterpurukan sebuah bangsa atau era.
Terdapat narasi kuno bahwa kejayaan nusantara itu akan terulang setiap tujuh abad, kata leluhur. Entah iya atau tidak, entah benar atau mengada-ada, namanya juga ramalan. Hukumnya sunah. Percaya boleh, tidak pun tak dilarang. Maka, jika merujuk kredo leluhur di atas, apabila dimulai dari kejayaan Sriwijaya pada abad ke-7, itulah Nusantara l. Kemudian setelah Sriwijaya tenggelam sirnaning bumi, muncul Majapahit di abad ke-14. Ini perulangan tujuh abad sebagaimana kredo leluhur.
Dan sesungguhnya, sejak era Gusdur dahulu –abad ke 21– sejatinya Indonesia telah masuk di lorong waktu Kejayaan Nusantara III, entah kelak di tahun berapa, apakah negeri ini masih bernama Indonesia, atau menggunakan nama lain. Hanya Tuhan yang tahu. Yang jelas, Make Indonesia Great Again atau MIGA bukan milik kubu ini atau kubu itu, akan tetapi bila merujuk perulangan sejarah nusantara, MIGA itu adalah hak rakyat dan bangsa yang hidup di atas nusantara! (NusantaraNews.co)
*Arief Pranoto, Direktur Geopolitik dari Global Review khusus untuk Kawasan Dunia