Jakarta, BINA BANGUN BANGSA – Usaha Mikro dan Kecil di Indonesia memberikan kontribusi penting bagi pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja. 98% perusahaan di Indonesia merupakan usaha mikro dan kecil namun mampu menyumbang 57% Pendapatan Domestik Bruto (PDB) dan menyerap 60 persen tenaga kerja. Namun demikian, usaha mikro dan kecil sering menghadapi kendala diantaranya kurangnya informasi maupun akses untuk memperoleh kredit/pembiayaan, sehingga membatasi pertumbuhan dan peluang investasi mereka.
Undang-undang No. 20 tahun 2008 tentang Usaha Mikro Kecil dan Menengah, pasal 7 dan 8 mengamanatkan bahwa Pemerintah dan Pemerintah Daerah untuk menumbuhkan iklim usaha dengan menetapkan peraturan perundang-undangan dan kebijakan yang meliputi aspek diantaranya terkait pendanaan. Kebijakan pendanaan tersebut ditujukan untuk memperluas sumber pendanaan dan memfasilitasi UMKM pada kredit bank/nonbank, memperbanyak lembaga pembiayaan dan memperluas jaringannya, memberikan kemudahan dalam memperoleh pendanaan, dan membantu UMKM mendapatkan pembiayaan dan jasa/produk keuangan lainnya dengan jaminan pemerintah.
Sejalan dengan amanat UU No. 20 tersebut untuk membantu mengatasi kurangnya akses UMKM untuk memperoleh kredit/pembiayaan, Pemerintah meluncurkan Kredit Usaha Rakyat (KUR) pada tahun 2007. Dalam kurun waktu 2010 – 2014, realisasi penyaluran KUR rata-rata melampaui target yang ditetapkan pemerintah. Target yang ditetapkan sebesar Rp. 20 T per tahun atau total Rp. 100 T dalam kurun waktu 5 tahun tersalurkan Rp. 178,45 T.
Namun demikian terdapat kelemahan dalam program Kredit Usaha Rakyat tersebut. Dalam laporan hasil pemeriksaan BPK terhadap LK-BUN 2012 No.07/5/XV.2/04/2013 terdapattemuan bahwa penyaluran KUR dan pemberian subsidi IJP KUR kepada UMKMK belum dapat dinilai tepat sasaran. Hal ini diperkuat dengan temuan dari LIPI yang menyatakan bahwa program KUR memberi manfaat besar kepada perbankan dan perusahaan penjamin tetapi mengecilkan kontribusinya dalam pengentasan kemiskinan. Rekomendasi BPK atas temuan ini adalah dengan membangun aplikasi terintegrasi antara pemerintah, perusahaan penjamin kredit dan bank pelaksana yang antara lain digunakan untuk memantau ketepatan sasaran program. Sedangkan untuk mempercepat dan memperkuat pelaksanaan program KUR, Menteri Keuangan menunjuk Kuasa Pengguna Anggaran pada Kementerian Koperasi dan UKM.
Berdasarkan hasil evaluasi dan rekomendasi dari berbagai hasil kajian yang dilakukan oleh berbagai pihak, usulan dari pihak-pihak terkait serta Rapat Koordinasi Komite Kebijakan tanggal 15 Desember 2014, maka dilakukan perbaikan dan perubahan skema pelaksanaan KUR 2015. Langkah awal untuk mewujudkan perubahan tersebut yaitu dengan menyusun regulasi terkait KUR. Pada tanggal 7 Mei 2015 telah diterbitkan Keputusan Presiden Nomor 14 Tahun 2015 tentang Komite Kebijakan Pembiayaan bagi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah. Keppres ini menjadi payung hukum terbentuknya Komite Kebijakan untuk program Kredit Usaha Rakyat (KUR). Pada perkembangannya, hasil Rapat Kabinet Terbatas tanggal 17 Juni 2015 yang memutuskan bahwa suku bunga KUR untuk debitur adalah maksimal 12% efektif per tahun. Hasil ratas tersebut ditindaklanjuti oleh pemerintah melalui Komite Kebijakan melalui pemberian subsidi bunga. Perubahan jenis subsidi pemerintah dari Imbal Jasa Penjaminan menjadi subsidi bunga dituangkan melalui Keppres Nomor 19 tahun 2015 tanggal 15 Juli 2015 tentang Perubahan atas Keppres 14 Tahun 2015.
Selanjutnya Peraturan Menteri Keuangan No. 146/PMK.05.2015 tentang Tata Cara Pembayaran Subsidi Bunga Kredit Usaha Rakyat diterbitkan tanggal 30 Juli untuk melengkapi ketentuan terkait pelaksanaan KUR skema baru. Sedangkan untuk dijadikan acuan para pihak dalam melaksanaan KUR diterbitkan Peraturan Menko Perekonomian No. 6 tentang Pedoman Pelaksanaan KUR yang meliputi lampiran I KUR Mikro, lampiran II KUR Ritel dan lampiran III KUR TKI, pada tanggal 7 Agustus 2015. Permenko tersebut mengalami perubahan dengan adanya perluasan sektor yang dibiayai KUR, yaitu dengan terbitnya Permenko nomor 8 Tahun 2015, tanggal 26 Oktober 2015. Pada Permenko 6/2015 sektor yang dibiayai KUR hanya meliputi sektor pertanian, perikanan, industri pengolahan, dan sektor perdagangan yang terkait ketiga sektor tersebut. Perluasan sektor pada Permenko 8/2015 yaitu sektor perdagangan tidak dibatasi lagi melainkan meliputi seluruh usaha di sektor perdagangan serta sebagian sektor jasa.
Sebagai landasan hukum bagi penetapan suku bunga yang dibebankan pada debitur dari 2% menjadi 9% pada tahun 2016, diterbitkan Permenko nomor 13 tahun 2015 pada tanggal 30 Desember 2015. Penurunan suku bunga tersebut dimaksudkan untuk lebih mendorong usaha mikro, kecil dan menengah.
Bank pelaksana KUR untuk tahap pertama ditunjuk bank BRI, BNI dan Mandiri serta untuk perusahaan penjamin ditunjuk Perum Jamkrindo dan PT. Askrindo dengan Keputusan Menko Perekonomian No. 170 Tahun 2015 tentang Bank Pelaksana dan Perusahaan Penjamin KUR. Setelah ditandatanganinya Perjanjian Kerjasama Pembiayaan antara Bank Pelaksana denga Kuasa Pengguna Anggaran, serta Perjanjian Kerjasama Penjaminan KUR antara Bank Pelaksana dengan Perusahaan Penjamin pada tanggal 13 Agustus 2015, KUR skema baru telah dapat disalurkan.
Penyalur KUR bertambah dengan terbitnya Keputusan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian nomor: 188 Tahun 2015 tentang Penetapan Penyalur Kredit Usaha Rakyat dan Perusahaan Penjamin KUR, tanggal 30 Oktober 2015.
Adapun bank penyalur KUR yaitu: BRI, BNI, Bank Mandiri, Bank Sinarmas, Maybank, Bank Bukopin, BTPN, OCBC NISP, Bank Permata, Bank Panin, BCA, Bank Artha Graha, BPD Kalbar, BPD NTT, BPD Bali, BPD DIY, BPD Sulselbar, Bank Jateng, BPD Sumatra Utara, Bank Jatim, BPD Sumbar, BPD Riau Kepri, Bank Jambi, Bank Kalbar, Bank Kalsel, Bank NTB, Bank Sumselbabel, Bank Papua, Bank lampung, BRI Syariah, BCA Finance, Mega Finance, FIF, Adira Finance.